Sedia payung sebelum hujan. Pepatah itu cocok juga bagi pelaku usaha dalam melindungi data-data penting perusahaannya. Sebab, segala kemungkinan bisa terjadi pada data perusahaan: akibat bencana alam, kebakaran, hingga pencurian data atau data loss. Untuk itu, perlu ada strategi atau perencanaan terhadap data perusahaan ini, yang di dunia teknologi dikenal dengan istilah Disaster Recovery Plan (DRP).
Apa itu DRP atau rencana pemulihan bencana? DRP merupakan suatu tindakan yang dilakukan sebelum dan sesudah bencana terjadi. DRP merupakan rencana yang fokusnya pada penggunaan IT untuk pemulihan kinerja sistem atau aplikasi ataupun sebuah fasilitas komputer, yang dijalankan dari tempat yang berbeda atau off-site ketika terjadinya situasi darurat seperti bencana.
Menyusun atau membuat DRP bertujuan untuk meminimalisir dampak diakibatkan oleh sebuah bencana, misalnya untuk melindungi data-data penting dari bisnis yang Anda miliki seperti data penjualan, perilaku konsumen hingga data-data sensitif yang berkaitan dengan konsumen. Telah banyak kasus data loss maupun pencurian data dalam dunia teknologi dewasa ini.
Sebuah hasil penelitian yang dilakukan oleh University of Texas, menyebutkan bahwa hanya 6% perusahaan yang mampu bertahan dan mengembalikan data mereka. Sementara itu, sebanyak 43% data tidak dapat diakses kembali, dan 51% perusahaan tutup dalam 2 tahun terakhir. Hal ini menunjukkan bahwa DRP sangatlah penting.
Akan tetapi, umumnya, rencana pemulihan bencana atau DRP ini jarang sekali dijadikan prioritas oleh para pelaku bisnis. Pasalnya, untuk melakukan DRP ini memerlukan biaya yang cukup mahal dan penerapannya yang sulit. Apalagi, ada anggapan bahwa bencana adalah faktor alam yang bersifat force majeure.
Namun, perlu dipahami para pelaku bisnis bahwa nilai data perusahaan yang tersimpan di data center merupakan “nyawa” dari bisnis perusahaan tersebut. Oleh karena itu, pembuatan DRP adalah hal yang sangat penting demi kelangsungan bisnis. Dengan DRP operasional perusahaan dapat tetap berjalan meskipun terjadi bencana. Apabila operasional perusahaan terhambat, maka perusahaan pun akan mengalami kerugian.
Jadi, pembuatan DRP bertujuan untuk meminimalkan risiko dan optimalisasi kesinambungan entitas dalam menghadapi risiko bencana. Biasanya, DRP melibatkan analisis proses bisnis dan kebutuhan keberlanjutan. Oleh karena itu, program DRP perlu melibatkan seluruh lini operasional dan manajemen perusahaan.
Sebagai sebuah program perencanaan, DRP harus menangani tiga bidang. Pertama, Prevention (pra-bencana) diperlukan untuk meminimalisir dampak keseluruhan bencana pada sistem informasi dan sumber daya. Prevention juga memaksimalkan kemampuan sebuah perusahaan untuk pulih dari bencana. Prevention dapat berupa penggunaan server mirror, memelihara hot sites, serta pelatihan tenaga pemulihan bencana.
Kedua, Continuity (saat bencana) merupakan proses pemeliharaan inti, mission-critical system yang dibutuhkan untuk menjaga sebuah perusahaan dalam status operasional serta menginisiasi hot sites sekunder selama bencana. Jadi, langkah-langkah continuity berguna untuk menjaga sistem dan sumber daya perusahaan.
Ketiga, Recovery (pasca-bencana). Langkah-langkah yang diperlukan untuk recovery semua sistem dan sumber daya untuk menjadi status operasional normal. Perusahaan dapat mengurangi waktu pemulihan dengan berlangganan quick-ship programs dengan vendor (program pihak ketiga yang dapat memberikan pra-konfigurasi penggantian sistem untuk setiap lokasi dalam jangka waktu yang tetap).
Sejatinya, DRP merupakan strategi (perencanaan ) menghadapi bencana. Pemilihan strategi ini juga sangat dipengaruhi oleh kesediaan manajemen dalam memilih rentang periode RPO (Recovery Point Objective) dan RTO (Recovery Time Objective). Ada tiga strategi yang diterapkan dalam DRP ini. Pertama, Strategi Cold Site. Pada strategi cold site ini perusahaan mempersiapkan ruangan kosong yang sudah ada jaringan dan kabel-kabel terpasang, tetapi belum ada perlengkapan untuk komputasi. Jika terjadi bencana maka perusahaan akan meminta vendor menyediakan perlengkapan komputasi untuk suatu periode tertentu.
Kedua, Strategi Hot Site. Pada strategi hot site ini perusahaan akan mempersiapkan suatu ruangan lengkap dengan kabel, jaringan dan peralatan komputasi yang lain. Ketiga, Strategi Real-time Mirroring. Pada strategi Real-time Mirroring ini perusahaan menyediakan ruangan dengan jaringan lengkap, komputasi yang lengkap dan juga database mirror yang sama persis dengan yang aslinya.
Dari segi biaya, Cold Site paling murah. Sedangkan Real-Time Mirroring paling mahal. Tetapi, tentu saja, Real-time Mirroring menjanjikan bahwa operasional bisnis tidak akan terganggu. Industri penerbangan dan perbankan lebih cocok menggunakan strategi Real-time Mirroring, karena sangat berharganya setiap detik transaksi.
Nah, jika Anda pelaku bisnis, apakah sudah memikirkan solusi DRP untuk perusahaan Anda? (*dari berbagai sumber)